MAKALAH 
PERANAN ZAKAT,INFAQ
DAN SEDEKAH DALAM MENUNTASKAN FAKIR MISKIN
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
![]()  | 
 
SMK PEPABRI BULUKUMBA
TAHUN AJARAN
2011/2012
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb
Puji dan syukur penyusun  ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala
yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan lain-lain, sehingga Makalah Pendidikan Agama Islam ini
telah selesai disusun dengan pokok pembahasan mengenai “ Sistem Ekonomi Islam, Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Waqaf.
Makalah
Pendidikan Agama Islam ini, disusun untuk memenuhi
kebutuhan mahasiswa yang mengambil Mata Kuliah ini dan sebagai bahan wacana
untuk menambah pengetahuan mahasiswa tentang hal yang berhubungan dengan Islam.
Serta sebagai bahan diskusi. Makalah ini terkonsentrasi membahas mengenai”system ekonomi islam, zakat, infaq, shodaqoh dan waqaf”.
Makalah ini
disusun dengan menggunakan ragam bahasa sederhana. Agar isi, maksud dan tujuan
penyusunan makalah ini dapat dipahami dengan mudah.
Penyusun telah
berusaha sekuat tenaga dan pikiran dalam menyusun makalah ini. Namun demikian
tentunya masih banyak kekurangan-kekurangannya. Untuk itu penyusun mengharapkan
kritik-kritik dan saran-saran yang membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan isi Makalah Pendidikan
Agama Islam ini untuk masa yang akan datang.
Demikian
makalah ini disusun dengan harapan semoga bermanfaat bagi para pembacanya. Dan
semoga allah Subhanahu Wata’ala senantiasa memberikan Taufiq dan Hidayah-Nya
kepada siapa saja yang mencintai pendidikan Agama Islam. Amin
Ya Rabbal ‘alamin
Wassalamualaikum Wr.
Wb
                                                                  BULUKUMBA,07 – 06 -2012                                                                                                 Penyusun
                                                                EVIE
NIRFAYANI
DAFTAR ISI
Ø  KATA PENGANTAR…………………………………………..
Ø  DAFTAR ISI………………………………………………….....
Ø 
BAB I PENDAHULUAN
..…………………………………..
Ø  BAB II PEMBAHASAN MASALAH………………………
Ø  BAB III KESIMPULAN DAN SARAN……………………
Ø  DAFTAR PUSTAKA………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
Makalah ini berisi tentang pembahasan masalah system ekonomi Islam, zakat,
infaq, shodaqoh dan waqaf. Masalah beramal ini perlu mendapat perhatian yang
lebih, baik dalam kalangan mahasiswa maupun masyarakat. Karena masalah ini
berkaitan erat dengan jiwa social yang dimiliki oleh setiap insan cita.
Seorang muslim atau insan kamil itu dia mampu mengabdikan dirinya dengan
penuh kepasrahan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, selalu patuh dengan segala
perintah-Nya, mampu menahan diri untuk tidak berbuat yang tidak sesuai dengan
syariat serta dia juga harus mampu untuk berguna bagi dirinya, keluarganya dan
orang lain.
Insan cita sebagai homo economicus, homo socious, homo
politicus dan homo religus itu harus mampu menyelaraskan atau
menyeimbangkan fungsinya sebagai khalifah di bumi.
Manusia sebagai
homo
socious atau makhluk social, bahwa manusia itu mustahil dalam menjalani
hidupnya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Karena pada dasarnya
manusia tidak mampu semata-mata mengandalkan kekuatannya sendiri dan dia mutlak
masih harus membutuhkan orang lain. Manusia sebagai homo economicus, bahwa
manusia itu memiliki 3 hal penting didalam dirinya yang meliputi penalaran,
kepentingan dan informasi. Manusia sebagai homo politicus atau makhluk politik
adalah manusia itu selalu berupaya untuk mencoba hal-hal yang terbaik bagi
lingkungan masyarakat dimana ia tingla. Dan manusia sebagai homo
religius adalah manusia itu membutuhkan kelengkapan rohaniah untuk
menenangkan jiwanya yang cenderung tidak pernah puas dengan tuntutan kebutuhan
materi setiap harinya.
Insan kamil ia mampu menyeimbangkan posisi dirinya sebagai makhluk
soial ekonomi dan sebagai insan yang religius. Dimana ia tidak hanya memikirkan
duniawi saja melainkan akhirat juga menjadi beban dalam fikirannya. Ia
senantiasa berjiwa social, mampu berguna bagi orang lain, sikap saling tolong
menolong selalu tertanam dalam dirinya dan tentunya tanpa meninggalkan ibadah
mahdah maupun ghairu mahdah serta berakhlakul karimah.
BAB
II
PEMBAHASAN
MASALAH
SISTEM
EKONOMI ISLAM, ZAKAT,
INFAK,
SHODAQOH DAN WAKAF
- SISTEM EKONOMI ISLAM
 
Sistem ekonomi Islam tidak sama dengan system-sistem
ekonomi lainnya(kapitalis, sosialis,dsb). System ekonomi Islam lahir dari sumber wahyu sedang
yang lain datang dari sumber akal. Cirri-ciri system ekonomi Islam meliputi ;
¨      Memelihara fitrah manusia
¨      Memelihara norma-norma akhlak
¨      Memenuhi keperluan-keperluan
masyarakat
Kegiatan ekonomi Islam memiliki cita-cita luhur, yaitu
bertujuan berusaha untuk mencari keuntungan individu disamping melahirkan
kebahagiaan bersama bagi masyarakat. Aktivi-aktivi ekonomi Islam senantiasa diawasi oleh
hokum-hukum islam dan pelaksanaanya dikawal pula oleh pihak pemerintah. Ekonomi
islam menseimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat.
Menurut
Zallum (1983), Az-Zain (1981) , An-Nabbaniy (1990), dan Abdullah (1990)
menyatakan bahwa Azaz-azaz yang membangun system ekonomi islam terdiri atas 3
azaz yaitu ;
ü  Bagaimana harta diperoleh yakni
menyangkut kepemilikan ( Al-Milkiya )
ü  Bagaimana pengelolaan kepemilikian
harta ( Tasharruf Fil Milkiyah )
ü  Bagaimana distribusi kekayaan
ditengah masyarakat ( Tauzi’ul Tsarwah Bayna An-Naas )
SISTEM EKONOMI ISLAM MENURUT KEHENDAK
TUHAN
          TRIDAYA
; MUFAKAT, ADIL DAN AMANAH
Diatas telah dijelaskan bahwa  ekonomi Islam adalah berpadukan wahyu dari Allah dan
yang lainnya dari hasil ciptaan akal manusia. System ciptaan akal manusia ini
hanya mengambil kira perkara-perkara lahiriah semata-mata tanpa menitikberatkan
soal hati, roh, dan jiwa manusia. Hasilnya
matlamat lahiriah itu sendiri tidak tercapai dan manusia menderita dan tersiksa
karenanya.
Selain itu berlaku pula penindasan, penekanan, dan ketidak adilan. Yang
kaya tambah kaya dan yang miskin tambah miskin. Ekonomi Islam pula Sangat
berbeda.
CIRI-CIRI EKONOMI ISLAM
- MELIBATKAN TUHAN
 
Orang Islam berekonomi dengan niat karena Allah dan mengikuti peraturan dan
hukum-hukum Allah Taala. Matlamatnya ahíla untuk mendapatkan ridha dan kasih
sayang Allah. Syariat lahir dan batin ditegakkan dan hati tidak lalai dari
mengingat Allah.Aktivi berniaga dianggap dzikir dan ibadah kepada Allah SWT. Ia
adalah jihad fisabilillah dan menjadi suatu perjuangan untuk menegakkan islam
dan mengajak manusia kepada Allah. Sesibuk manapun berniaga, Allah tidak ia
lupakan. Berekonomi dan berniaga secara Islam adalah diantara jalan untuk
menambah bekalan taqwa.
- BERLANDASKAN TAQWA
 
Kegiatan ekonomi dalam Islam merupakan jalan untuk mencapai taqwa dan
melahirkan akhlak yang mulia. Ini adalah tuntutan Tuhan. Kalau dalam sistem
ekonomi kapitalis, modalnya duit untuk mendapatkan duit. Tetapi dalam ekonomi
Islam modalnya taqwa untuk mendapatkan taqwa.
Dalam Islam
berekonomi adalah untuk memperbesar, memperpanjang dan memperluaskan syariat
Allah. Ekonomi itu jihad dan ibadah. Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari
konsep dan syariat-syariat ibadah ,hiatnya pelaksanaan dan natijahnya kena
betul. Kegiatan ekonomi/ perniagaan yang dibuat itu tidak haram dan tidak
melibatkan perkara-perkara yang haram. Ibadah asas seperti sholat, puasa, dll
tidak boleh ditinggalkan. Kalau sholat ditinggalkan, ibadah berekonomi
sepertimana juga ibadah-ibadah lain  akan
dengan sendirinya bertolak.
Hasil dari ekonomi yang berlandaskan taqwa akan lahir ukhuwah, kasih
sayang, kemesraan, bertolong Bantu, bersopan santun, mendahulukan kepentingan
orang lain dan berbagai lagi sifat-sifat yang luhur. Premis perniagaan
berasakan taqwa adalah pusat bina insan yang cukup praktikal dan menguntungkan.
Semua yang terlibat dengan kegiatan ekonomi Islam ini akan menjadi tawadhuk dan
rendah diri. Akan terhapus penindasan, penekanan, pendzaliman dan ketidak
adilan. Tidak ada crisis pengaduhan dan jenayah, ketakutan dan kebimbangan akan
lenyap. Akhirnya masyarakat jadi aman, damai, dan hidup penuh harmoni. Ekonomi
Islam lebih mementingkan sifat taqwa, daripada keuangan yang besar. Ilmu,
pengalaman, kemahiran, kekayaan alam semula jadi dan sebagiannya. Orang yang
bertaqwa itu dibantu Tuhan seperti dalam Firman-Nya, yang maksudnya “ Allah itu
pembela bagi orang-orang yang bertaqwa “ ( al-Jasiyah : 19 )
Orang yang bertaqwa itu, usahanya sedikit tetapi hasilnya banyak. Apalagi
kalau usahanya banyak ? Kalau orang yang bertaqwa menghadapi masalah, Allah
akan mengadakan baginya jalan keluar  dan
dia diberi rezeki oleh Allah dari sumber-sumber yang tak disangka-sangka.
- PENUH SUASANA KEKELUARGAAN
 
Dalam premis perniagaan Islam dimana ada Tuan punya pengurus dan pekerja
yang terjalin kemesraan dan kasih sayang seperti dalam satu keluarga. Pengurus
seperti Ayah, penyelia-penyelia seperti kayak dan abang. Para pekerja seperti
anak. Ayah menjaga keperluan anak-anak. Ini termasuk didikan agama, makan
minum, keselamatan, kesehatan, pakaian, tempat tinggal, kebajikan dan
lain-lain.
- PENUH KASIH SAYANG
 
Islam menganggap berekonomi itu beribadah. Yaitu Ibadah menerusi khidmat
kita kepada sesama manusia. Manusialah yang Tuhan tuntut supaya
kita berkasih sayang dengan mereka. Justru itu pelanggan/ ahli-ahli masyarakat
tidak dilihat seperti orang lain bahkan dianggap saudara-mara.
Pelanggan yang datang kepada premis perniagaan dilayan sebaik mungkin
seperti tetamu. Maka mereka datang membawa Ramat dan kembalinya menghapuskan
dosa. Pelangganlah tempat mereka menaruh bhakti dan khidmat. Pelanggan jugalah
orang yang membantu mereka memperbaiki dan mendidik hati. Oleh karena itu,
pelanggan sungguh mal dan sungguh istimewa. Mereka diberi kemesraan dan kasih
sayang.
Berbakti dan khidmat bukan setakat
memberi pelanggan apa yang mereka mau. Ia termasuk pembelaan dan kebajikan.
Kalau ada pelanggan yang memerlukan barangan dengan khidmat tetapi nyata tidak
mampu membayar harganya, demi Tuhan yang mengurniakan kasih sayang, dia
dibolehkan membayar ikut sesuka hatinya. Kalau dia fakir dan miskin hingga
tidak mampu bayar langsung. Maka menjadi tanggung jawab pihak yang berniaga
pulalah yang memberikan keperluanya itu dengan percuma. Tuhanlah yang akan
membayarkan untuknya. Inilah ekonomi taqwa dan kasih sayang.
Dalam ekonomi kapitalis, tidak ada
kasih sayang. Mereka hanya
maukan duit para pelanggan. Janganlah hemdak membantu manusia. Bahkan mereka
sanggup mengusahakan, menekan, menindas dan mampu manusia demi mengejar
keuntungan.
- KEUNTUNGAN PERNIAGAAN UNTUK MASYARAKAT
 
Dalam ekonomi islam, keuntungan
adalah 2 bentuk :
- Keuntungan maknai
 - Keuntungan maddi ( material )
 
Islam mengajar ahli ekonomi dan
perniagaan untuk mengutamakan untung maknawi daripada untung material. Kalaupun ada keuntungan material, ia
perlu dihalalkan semula dan diperguna untuk kepentingan masyarakat. Islam tidak
menganjurkan keuntungan material ditumpu pada diri sendiri. Keluarga atau
golongan. Keuntungan boleh diambil sekedar perlu tetapi selebihnya mesti
dikembalikan kepada Tuhan melalui bantuan kepada fakir miskin dan masyarakat.
Inilah apa yang dikatakan bersyukur.
Ekonomi Islam lebih mementingkan khidmat kepada masyarakat daripada
mengumpulkan keuntungan material yang besar. Keuntungan material kalaupun ada
perlu disalurkan semula kepada masyarakat. Tidak ada orang yang miskin karena
beramal, yang ada malahan hartanya bertambah berkah. Kita memang dianjurkan
untuk saling peduli kepada ssesama Amat.
- TIDAK ADA HUTANG BERUNSUR RIBA
 
Islam tidak membenarkan riba. Yaitu pinjaman berfaedah(berbunga) tetap untuk
jangka masa yang tertentu. Islam ada cara tersendiri untuk mengana model dan
keuangan.diantaranya seperti bentuk-bentuk kerja sama ekonomi dalam Islam  yang meliputi ;
Þ    Syirkah à perseroan atau
persekutuan. Persekutuan antara 2 orang atau lebih yang bersepakat untuk
bekerja sama dalam suatu usaha. Yang keuntungan dan hasilnya untuk
kesejahteraan bersama.
Þ    Mudarabah à disebut juga
Qirad yang artinya pemberian modal dari pemilik modal kepada seseorang yang
akan memperdagangkan modal itu, dengan ketentuan bahwa untung rugi ditanggung
bersama sesuai dengan perjanjian antara keduanya waktu akad. Hukumnya mubah,
boleh.
Þ    Muzara’ah à kerja sama
bagi hasil sawah atau ladang antara pemilik dengan penggarap, sedangkan venilla
dari pemilik.
Þ    Mukhabarah à kerja sama
bagi hasil sawah atau ladang antara pemilik dan penggarap sedangkan venilla
berasal dari penggarap
Þ    Musaqah à paruhan hasil
kebun antara pemilik dan penggarap. Besar bagian masing-masinnya sesuai
perjanjian pada waktu akad
Þ    Kemudian ada lagi sitem ekonomi yang
lagi Marak saat ini, adalah perbankan islami yang terrenal sebagai Bank
Syari’ah. Perbankan ini didasarkan pada prinsip Islam merujuk pada Al-Qur’an
dan Hadist. 
Þ    Adapun Asuransi Islam adalah perjanjian
antara penanggung ( perusahaan asuransi ) dan seseorang yang
mempertanggungjawabkan sesuatu (peserta perusahaan asuransi). Dalam periode
tertentu , misalnya; setiap bulan, peserta berkewajiban membayar premi kepada
perusahaan asuransi sesuai perjanjian. Sedangkan kewajiban perusahaan asuransi
memberi uang sebesar perjanjian ( polis ).
Riba mencetus berbagai masalah crisis, ia Sangay menekan, menindas,
mencekik, si peminjam. Si peminjam boleh terjerat dalam satu ikatan yang dia
tidak mampu ungkaikan atau terjatuh kedalam lubang yang dia tidak mampu keluar.
Orang yang memberi pinjaman riba menjadi kaya tanpa usaha. Dia menjadi kaya
atas titik peluh orang lain. Riba dalam ekonomi membuatkan harga barang dan
khidmat menjadi tinggi karena, untung lebih dipaksa dicari untuk membayar kadar
faedah riba. Usaha ekonomi yang berasaskan riba juga tertakluk kepada
tekanan  karena lagi lama pinjaman tidak
dibayar , lagi banyak pula faedah atau bunganya.
- ZAKAT
 
Etimologi
Secara harfiah zakat berarti "tumbuh", "berkembang",
"menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara
terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan
dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana
ditentukan.
Sejarah Zakat
Setiap umat Muslim berkewajiban untuk memberikan sedekah dari rezeki yang
dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Qur’an. Pada awalnya,
Al-Qur’an hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya
bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk
membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad
melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka
yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin.  Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam
negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan
pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan
didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah
orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang
terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari’ah mengatur dengan lebih
detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan. Kejatuhan para
kalifah dan negara-negara Islam menyebabkan zakat tidak dapat diselenggarakan
dengan berdasarkan hukum lagi. 
Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu[rukun Islam], dan menjadi salah satu unsur pokok
bagi tegaknya [syariat Islam]. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu)
atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk
dalam kategori ibadah, seperti:salat,haji,dan puasa yang telah diatur secara
rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah,sekaligus merupakan amal
sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan ummat manusia.
Macam-Macam Zakat
Zakat terbagi atas dua tipe yakni:
Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan.
Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah
bersangkutan.
Zakat Maal (Harta)
Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil
ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing tipe memiliki perhitungannya
sendiri-sendiri.
Yang
berhak menerima
- Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
 - Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
 - Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
 - Muallaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
 - Hamba Sahaya yang ingin memerdekakan dirinya
 - Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
 - Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
 - Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.
 
Yang
tidak berhak menerima zakat
- Orang kaya. Rasulullah bersabda, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
 - Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
 - Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
 - Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
 - Orang kafir.
 
Beberapa
Faedah Zakat
Faedah
Diniyah (segi agama)
Dengan berzakat berarti telah
menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada
kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Merupakan sarana bagi hamba untuk
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena
keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
Pembayar zakat akan mendapatkan
pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya:
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah:
276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan
ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
Zakat merupakan sarana penghapus
dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.
Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi
pembayar zakat. Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas
kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa
harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa.
Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai
tingkat pengorbanannya. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir
miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi
mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah
mujahidin fi sabilillah.
Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada
dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka
yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang
tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah
itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan
dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya
akan melimpah. Membayar zakat
berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta
dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang
mengambil manfaat.
Hikmah
Zakat
Hikmah
dari zakat antara lain:
- Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.
 - Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
 - Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
 - Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
 - Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
 - Untuk pengembangan potensi ummat
 - Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
 - Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.
 
Zakat
dalam Al Qur'an
- QS (2:43) ("Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'".)
 - QS (9:35) (Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.")
 - QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).
 
C. INFAK
Kata infak adalah kata serapan dari bahasa Arab: al-infâq. Kata al-infâq
adalah mashdar (gerund) dari kata anfaqa–yunfiqu–infâq[an]. Kata anfaqa sendiri
merupakan kata bentukan; asalnya nafaqa–yanfuqu–nafâq[an] yang artinya: nafada
(habis), faniya (hilang/lenyap), naqasha (berkurang), qalla (sedikit), dzahaba
(pergi), kharaja (keluar). Karena itu, kata al-infâq secara bahasa bisa berarti
infâd (menghabiskan), ifnâ’ (pelenyapan/pemunahan), taqlîl (pengurangan),
idzhâb (menyingkirkan) atau ikhrâj (pengeluaran).1
Kata al-infâq pada galibnya digunakan untuk harta, meski menurut ar-Raghib
bisa digunakan untuk harta maupun yang lain. Jika dikatakan anfaqa mâlahu (ia
menginfakkan hartanya) artinya afnâhu wa anfadahu (ia menghabiskan dan
melenyapkan hartanya). Harta itu habis karena ia keluarkan untuk keperluannya.
An-Nawawi berkata, 2 “An-Nafaqah berasal dari al-infâq yang artinya adalah
ikhrâj (pengeluaran).” Al-Qurthubi dan ar-Razi mengatakan,3 “Al-Infâq adalah
ikhrâj al-mâl min al-yadd (pengeluaran harta dari tangan/kepemilikan). Karena
hartanya habis dan lenyap maka seseorang itu bisa menjadi miskin. Jika
dikatakan, “Anfaqa ar-rajulu,” artinya, “Iftaqara wa dzahaba mâluhu” (Ia
menjadi miskin dan hartanya habis/hilang).4
Para ulama mengartikan al-infâq berputar pada pembelanjaan atau pengeluaran
harta. Di dalam al-Qâmûs al-Fiqhî, misalnya, al-infâq diartikan sebagai badzlu
al-mâl (pembelanjaan harta).5 Dalam Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ’, selain diartikan
badzlu al-mâl, al-infâq juga diartikan sebagai pembelanjaan harta dalam hal
kebutuhan-kebutuhan pokok atau yang lain, termasuk di antaranya infak (nafkah)
seorang suami kepada istrinya.6 Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan, “Ketahuilah
bahwa al-infâq adalah pembelanjaan harta untuk berbagai aspek kepentingan.”
Al-Minawi, mengutip Ibn al-Kamal, menyatakan bahwa al-infâq adalah
pembelanjaan harta dalam suatu kebutuhan.7 Al-Jurjani juga mendefinisikan
al-infâq sebagai pembelanjaan harta untuk suatu kebutuhan.8 Jadi al-infâq
adalah pembelanjaan atau pengeluaran khususnya harta. Pembelanjaan itu tidak
lain adalah pengeluaran harta dari kepemilikan kita.
Al-Quran menyebutkan kata anfaqa dan bentukannya sebanyak 72 kali. Semuanya
menggunakan makna bahasa di atas. Yang dominan adalah makna pembelanjaan harta.
Dari semua itu kata al-infâq hanya dinyatakan satu kali. Allah Swt. berfirman:
قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفَاقِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا
Katakanlah,
“Seandainya kalian menguasai berbagai perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya
perbendaharaan itu kalian tahan, karena takut al-infâq.” Manusia itu sangat
kikir. (QS al-Isra’ [17]: 100).
Ibn Abbas menafsirkan kata al-infâq dalam ayat tersebut dengan al-faqru
(kemiskinan). Qatadah menafsirkannya al-fâqah (kemelaratan/ketiadaan).
Mayoritas mufassir memilih kedua penafsiran tersebut. Adapun menurut
al-Baydhawi dan an-Nasafi, khasyyah al-infâq maknanya takut akan lenyap
(al-fanâ’) atau habis (an-nafâd) karena di-infâq-kan (dibelanjakan).9
Al-Quran menggunakan kata infâq dalam arti pembelanjaan atau pengeluaran
harta secara mutlak, tanpa sifat tertentu, baik pembelanjaan sesuai dengan
ketentuan Allah maupun yang disertai riya’ (QS al-Baqarah [2]: 264; an-Nisa’
[4]: 38); bahkan pembelanjaan untuk menghalangi orang dari jalan Allah (QS.
al-Anfâl [8]: 36). Semuanya diungkapkan dengan lafazh infâq. Al-Quran tidak
pernah menyatakan kata infâq secara berdiri sendiri. Sebaliknya, al-Quran
selalu mengaitkan kata infâq dengan indikasi-indikasi (qarînah) yang menjelaskan
maknanya. Hal itu mengindikasikan bahwa kata infâq tidak memiliki makna syar‘i.
Panduan
Menginfakkan Harta
Syariah telah memberikan panduan
kepada kita dalam berinfak atau membelanjakan harta. Allah dalam banyak ayat
dan Rasul saw. dalam banyak hadis telah memerintahkan kita agar menginfakkan
(membelanjakan) harta yang kita miliki. Allah juga memerintahkan agar seseorang
membelanjakan harta untuk dirinya sendiri (QS at-Taghabun: 16) serta untuk
menafkahi istri dan keluarga menurut kemampuannya (QS ath-Thalaq: 7). Dalam
membelanjakan harta itu hendaklah yang dibelanjakan adalah harta yang baik,
bukan yang buruk, khususnya dalam menunaikan zakat (QS al-Baqarah [2]: 267).
Bahkan Allah Swt. berfirman:
لَنْ تَنَالُوا
الْبِرَّ حَتَّى
تُنْفِقُوا مِمَّا
تُحِبُّونَ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ
اللَّهَ بِهِ
عَلِيمٌ
Kalian sekali-kali tidak sampai pada
kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian
cintai. Apa saja yang kalian nafkahkan, sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS
Ali Imran [3]: 92).
Kemudian Allah
menjelaskan bagaimana tatacara membelanjakan harta. Allah Swt. berfirman
tentang karakter ’Ibâdurrahmân:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak isrâf dan tidak (pula) iqtâr
(kikir); adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS
al-Furqan [25]: 67).
Allah Swt. juga
berfirman:
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Berikanlah
kepada keluarga-keluarga dekat haknya, juga kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan, dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. (QS al-Isra’ [17]: 26).
Ibn Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibn al-Juraij dan kebanyakan mufassir
menafsirkan isrâf (foya-foya) sebagi tindakan membelanjakan harta di dalam
kemaksiatan meski hanya sedikit. Isrâf itu disamakan dengan tabdzîr (boros).
Menurut Ibn Abbas, Ibn Mas‘ud dan jumhur mafassirin, tabdzîr adalah
menginfakkan harta tidak pada tempatnya. Ibn al-Jauzi dalam Zâd al-Masîr
mengatakan, Mujahid berkata, “Andai seseorang menginfakkan seluruh hartanya di
dalam kebenaran, ia tidak berlaku tabdzîr. Sebaliknya, andai ia menginfakkan
satu mud saja di luar kebenaran, maka ia telah berlaku tabdzîr.” 
Adapun iqtâr maknanya adalah menahan diri dari infak yang diwajibkan atau
menahan diri dari infak yang seharusnya. Asy-Syaukani, mengutip ungkapan
an-Nihâs, menyatakan, “Siapa saja yang membelanjakan harta di luar ketaatan
kepada Allah maka itu adalah isrâf; siapa yang menahan dari infak di dalam
ketaatan kepada Allah maka itu adalah iqtâr (kikir); dan siapa saja yang
membelanjakan harta di dalam ketaatan kepada Allah maka itulah infak yang al-qawâm.”10
Jadi, yang dilarang adalah isrâf dan tabdzîr, yaitu infak dalam kemaksiatan
atau infak yang haram. Infak yang diperintahkan adalah infak yang qawâm, yaitu
infak pada tempatnya; infak yang sesuai dengan ketentuan syariah dalam rangka
ketaatan kepada Allah; alias infak yang halal. Infak yang demikian terdiri dari
infak wajib, infak sunnah dan infak mubah. Infak wajib dapat dibagi:11 Pertama,
infak atas diri sendiri, keluarga dan orang-orang yang nafkahnya menjadi
tanggungan. Kedua, zakat.
Ketiga, infak di dalam jihad. Infak sunnah merupakan infak dalam rangka
hubungan kekerabatan, membantu teman, memberi makan orang yang lapar, dan semua
bentuk sedekah lainnya. Sedekah adalah semua bentuk infak dalam rangka atau
dengan niat ber-taqarrub kepada Allah, yakni semata-mata mengharap pahala dari
Allah Swt. Adapun infak mubah adalah semua infak halal yang di dalamnya tidak
terdapat maksud mendekatkan diri kepada Allah.
Islam memerintahkan kita agar menginfakkan harta sekaligus menjelaskan
tatacaranya. Tentu infak fardhu wajib dilaksanakan. Infak sunnah hendaknya
diperhatikan dan diupayakan sesuai kemampuan. Adapun infak mubah sebaiknya
tidak diperbanyak, tetapi dilakukan sebatas keperluan saja, dan ditujukan pada
yang lebih banyak manfaat daripada madaratnya, sebagai bentuk kewaraan. Wallâh
a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman] 
INFAQ DI PAKISTAN 
Tujuan utama dari Infaq menurut Islam adalah untuk menjaga keharmonisan
ekonomi dalam masyarakat. Infaq membantu kaum miskin dan miskin dalam pemenuhan
kebutuhan dasar mereka dan memungkinkan mereka untuk menjadi warga masyarakat
yang bertanggung jawab. Nabi Muhammad (SAW) mengambil langkah-langkah untuk
memberantas kemiskinan. Dia mendorong pengikutnya untuk memberi sedekah kepada
orang miskin dan yang membutuhkan, sehingga mereka (pengikut) mungkin dapat
menghindari kekikiran. Khalifah benar-terbimbing dan
sahabat lainnya Nabi (saw) bertindak atas ajaran Nabi (saw) dalam hal ini.
Sejarah Islam penuh dengan contoh, yang bersaksi atas kebajikan kaum muslimin
terhadap yang membutuhkan. Untuk rincian, lihat Syirazi (1994). 
Memang benar bahwa tidak ada negara
Islam hari ini Dunia Islam mempraktekkan ajaran Islam dalam totalitas mereka. Namun, satu dapat menemukan aplikasi
sebagian dari beberapa ajaran Islam di sejumlah negara Muslim. Meskipun
nilai-nilai yang tidak Islami dicampur dengan orang Islam, namun semangat Islam
tidak sama sekali tidak ada di antara individu-individu, banyak praktek ajaran
Islam tentang Infaq dan memberikan amal dan Sadaqat sukarela. 
Di Pakistan, bahkan sebelum pembentukan sistem zakat resmi pada
tahun 1980, orang-orang memberikan Sadaqat sukarela kepada sanak saudara mereka
miskin dan miskin dan tetangga, Deeni madaris (sekolah agama) dan institusi
pantas lainnya. Faiz (1992) melaporkan bahwa "di Pakistan, sampai Juni
1980, sistem zakat dipraktekkan pada yaitu, secara sukarela, individu digunakan
untuk membayar zakat kepada orang yang membutuhkan atau lembaga pada mereka
sendiri tanpa melibatkan pejabat negara". 
D. SHODAQOH ATAU
SEDEKAH
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).
Di dalam Alquran banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Di antara ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT yang artinya:
''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.'' (QS An Nisaa [4]: 114).
Hadis yang menganjurkan sedekah juga tidak sedikit jumlahnya.
Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir ada kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi wajib jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada seseorang atau lembaga.
Menurut fuqaha, sedekah dalam arti sadaqah at-tatawwu' berbeda dengan zakat. Sedekah lebih utama jika diberikan secara diam-diam dibandingkan diberikan secara terang-terangan dalam arti diberitahukan atau diberitakan kepada umum. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi SAW dari sahabat Abu Hurairah. Dalam hadits itu dijelaskan salah satu kelompok hamba Allah SWT yang mendapat naungan-Nya di hari kiamat kelak adalah seseorang yang memberi sedekah dengan tangan kanannya lalu ia sembunyikan seakan-akan tangan kirinya tidak tahu apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya tersebut.
Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang betul-betul sedang mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya;
''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai...'' (QS Ali Imran [3]: 92).
Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya yang berarti:
''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima.'' (QS Al Baqarah [2]: 264).
E. WAQAF
DEFINISI
Wakaf (Arab: وقف, jamak: اوقاف, awqāf) adalah perbuatan yang
dilakukan wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk menyerahkan sebagian atau
untuk keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan ibadah dan
kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya.
Seorang wakif dapat
orang-perorangan, organisasi, maupun badan hukum.
PENGERTIAN
WAKAF 
Secara etimologi, wakaf berasal dari
perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk
masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau
diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang
dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu
Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah
Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain)
untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani:
328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi
pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum
yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf
sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau
mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan
(Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan
harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri.
Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala
perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset
hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf
adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya
dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad
(shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi:
2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang
atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf
dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya
(al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk
diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376).
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi
bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta
dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan
wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan
menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para
ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam
Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
Dari beberapa definisi wakaf
tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau
faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai
dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan
pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum.
Rukun Wakaf
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang
mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua,
benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf
(al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Syarat-Syarat Wakaf 
1. Syarat-syarat orang yang berwakaf
(al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini
mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan
harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang
berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak
secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan
orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang
diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan,
kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah;
pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang
diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak
diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah.
Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf
(wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada
harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3. Syarat-syarat orang yang menerima
manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima
wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira
mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima
wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu
dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf
itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk
orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima
wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh
untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir
zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan
orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira
mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat
menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
4.
Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa
syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan
kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu.
Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau
digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti.
Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat
terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah.
Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah
kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf
secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
Obyek Wakaf
Obyek wakaf
yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang
dimiliki secara utuh dan dimiliki secara sah oleh pihak yang akan melakukan
wakaf (wakif). Obyek wakaf benda tidak bergerak dapat dalam bentuk tanah, hak milik atas rumah, atau hak milik atas rumah susun. Sementara untuk obyek wakaf benda
bergerak dapat dengan bentuk uang
Menurut 
bahasa  wakaf  berasal  dari  waqf  yang 
berarti  radiah  (terkembalikan),  al-tahbis  (tertawan) 
dan  al-man’u  (mencegah).
Sedangkan 
menurut  istialah  yang  dimaksud  dengan  wakaf 
sebagaimana  yang  didefinisikan  oleh  para 
ulama  adalah  sebagai  berikut:
1. 
Muhammad  al  Syarbini  al  Khatib  berpendapat 
bahwa  yang  dimaksud 
    
dengan wakaf  ialah   “Penahanan  harta  yang  memungkinkan 
untuk 
    
dimanfaatkan disertai  dengan  kekalnya  zat  benda 
dengan  memutuskan 
    
(memotong) tasharruf  (penggolongan)  dalam 
penjagaannya  atas  Mushrif 
    
(pengelola)  yang  dibolehkan  adanya.”
- Imam Taqiy al Din Abi Bakr bin Muhammad al Husaini dalam kitab Kifayat al Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah “Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya), dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.”
 - Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah, menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridha Allah.
 - Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah, menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekalnya zatnya dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara’, serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.
 
A.     DASAR  HUKUM  WAKAF
Adapun 
yang  dinyatakan  sebagai  dasar  hukum  wakaf 
oleh  para  ulama,  Al  Quran  surat  Al 
Hajj:  77
Artinya;
Berbuatlah 
kamu  akan  kebaikan  agar  kamu  dapat 
kemenangan.
Dalam  ayat  lain 
yaitu  surat  Ali  Imron:  92,  Allah  berfirman:
Artinya;
Akan  mencapai 
kebaikan  bila  kamu  menyedekahkan  apa  yang 
masih  kamu  cintai.
Dalam  salah  satu 
hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Imam  jama’ah 
kecuali  Bukhari  dan  Ibnu  Majah  dari 
Abu  Hurairah  ra  sesungguhnya  Nabi  saw 
bersabda: 
Apabila  mati 
seorang   manusia,  maka  terputuslah  pahala 
perbuatannya,  kecuali  tiga  perkara:  shodaqoh 
jariyah  (wakaf),  ilmu  yang  dimanfaatkan, 
baik  dengan  cara  mengajar  maupun  dengan 
karangan  dan  anak  yang  sholeh  yang 
mendoakan  orang  tuanya.
B.     
KETENTUAN-KETENTUAN  WAKAF
Menurut  Ahmad 
Azhar  Basyir  berdasarkan  hadits  yang  berisi 
tentang  wakaf  Umar  ra  maka  diperoleh 
ketentuan-ketentuan  sbb:
1.     
Harta  wakaf  harus  tetap  (tidak  dapat 
dipindahkan  kepada  orang  lain),  baik 
dijualbelikan,  dihibahkan,  maupun  diwariskan.
2.      Harta 
wakaf  terlepas  dari  pemilikan  orang  yang 
mewakafkannya.
3.     
Tujuan  wakaf  harus  jelas  (terang)  dan 
termasuk  perbuatan  baik  menurut  ajaran 
agama  Islam.
4.     
Harta  wakaf  dapat  dikuasakan  kepada 
pengawas  yang  memiliki  hak  ikut  serta 
dalam  harta  wakaf  sekadar  perlu  dan 
tidak  berlebihan.
5.     
Harta  wakaf  dapat  berupa  tanah  dan 
sebagainya,  yang  tahan  lama  dan  tidak 
musnah  sekali  digunakan.
C.    
RUKUN  DAN  SYARAT  WAKAF
SYARAT-SYARAT 
WAKAF:
1.     
Wakaf  tidak  dibatasi  dengan  waktu  tertentu 
sebab  perbuatan  wakaf  berlaku  untuk 
selamanya,  tidak  untuk  waktu  tertentu.  Bila 
seseorang  mewakafkan  kebun  untuk  jangka 
waktu  10  tahun  misalnya,  maka  wakaf 
tersebut  dipandang  batal.
2.     
Tujuan  wakaf  harus  jelas,  seperti 
mewakafkan  sebidang  tanah  untuk  masjid  dsb. 
Apabila  seseorang  mewakafkan  sesuatu  kepada  hukum 
tanpa  menyebut  tujuannya,  hal  itu  dipandang 
sah  sebab  penggunaan  benda-benda  wakaf  tersebut 
menjadi  wewenang  lembaga  hukum  yang 
menerima  harta-harta  wakaf  tersebut.
3.     
Wakaf  harus  segera  dilaksanakan  setelah 
dinyatakan  oleh  yang  mewakafkan,  tanpa 
digantungkan  pada  peristiwa  yang  akan 
terjadi  di  masa  yang  akan  datang 
sebab  pernyataan  wakaf  berakibat  lepasnya 
hak  milik  bagi  yang  mewakafkan.  Bila 
wakaf  digantungkan  dengan  kematian  yang 
mewakafkan,  ini  bertalian  dengan  wasiat  dan 
tidak  bertalian  dengan  wakaf.  Dalam 
pelaksanaan  seperti  ini,  berlakulah 
ketentuan-ketentuan  yang  bertalian  dengan  wasiat.
4.     
Wakaf  merupakan  perkara  yang  wajib 
dilaksanakan  tanpa  adanya  hak  khiyar  (membatalkan 
atau  melangsungkan  wakaf  yang  telah 
dinyatakan)  sebab  pernyataan  wakaf  berlaku 
seketika  dan  untuk  selamanya.
RUKUN-RUKUN 
WAKAF  IALAH:
1.     
Orang  yang  berwakaf  (wakif)
Wakif  mempunyai 
kecakapan  melakukan  tabarru,  yaitu  melepaskan 
hak  milik  tanpa  imbalan  materi.  Orang 
dikatakan  cakap  bertindak  tabarru  adalah 
baligh,  berakal  sehat,  dan  tidak  terpaksa.
2.     
Harta  yang  diwakafkan  (mauquf)
Harta  wakaf 
merupakan  harta  yang  bernilai,  milik  waqif 
dan  tahan  lama  untuk  digunakan.  Harta  wakaf  dapat 
berupa  uang  yang  dimodalkan,  berupa  saham 
pada  perusahaan  dsb.    Untuk  harta 
yang  berupa  modal  harus  dikelola  sedemikian 
rupa  (semaksimal  mungkin)  sehingga  mendatangkan 
kemaslahatan  atau  keuntungan.
3.      Tujuan  wakaf  (mauquf’alaih)
Tujuan 
wakaf  harus  sejalan  dengan  nilai-nilai 
ibadah,  sebab  wakaf  merupakan  salah  satu 
amalan  shadaqah  dan  shadaqah  merupakan 
salah  satu  perbuatan  ibadah.  Harta  wakaf 
harus  segera  dapat  diterima  setelah  wakaf 
diikrarkan.  Bila  wakaf  diperuntukkan  membangun 
tempat-tempat  ibadah  umum,  hendaklah  ada 
badan  yang  menerimanya.
4.      Pernyataan  wakaf  (shigat 
waqf)
Wakaf 
itu  di-shigat-kan,  baik  dengan  lisan, 
tulisan,  maupun  dengan  isyarat.  Wakaf 
dipandang  telah  terjadi  apabila  ada 
pernyataan  wakif  (ijab)  dan  Kabul  dari  mauquf’alaih 
tidak  diperlukan.  Isyarat  hanya  boleh 
dilakukan  bagi  wakif  yang  tidak  mampu 
melakukan  lisan  dan  tulisan.
D.     MACAM-MACAM  WAKAF
Menurut 
para  ulama  secara  umum  wakaf  dibagi 
menjadi  dua  bagian:
1.      Wakaf 
ahli  (khusus)
Wakaf 
ahli  disebut  juga  wakaf  keluarga  atau 
wakaf  khusus.  Maksud  wakaf  ahli  ialah 
wakaf  yang  ditujukan  kepada  orang-orang 
tertentu,  seorang  atau  terbilang,  baik 
keluarga  wakif  maupun  orang  lain.  Misalnya, 
seseorang  mewakafkan  buku-buku  yang  ada  di 
perpustakaan  pribadinya  untuk  turunannya  yang 
mampu  menggunakan.  Wakaf  semacam  ini 
dipandang  sah  dan  yang  berhak  menikmati 
harta  wakaf  itu  adalah  orang-orang  yang 
ditunjuk  dalam  pernyataan  wakaf.
2.      Wakaf 
khairi
Wakaf 
khairi  ialah  wakaf  yang  sejak  semula 
ditujukan  untuk  kepentingan-kepentingan  umum  dan 
tidak  ditujukan  kepada  orang-orang  tertentu. 
Wakaf  khairi  inilah  yang  benar-benar 
sejalan  dengan  amalan  wakaf  yang  amat 
digembirakan  dalam  ajaran  Islam,  yang 
dinyatakan  pahalanya  akan  terus  mengalir 
hingga  wakif  meninggal  dunia,  selama  harta 
masih  dapat  diambil  manfaatnya.
E.     SYARAT-SYARAT  WAKAF
Dalam  wakaf  terkadang  wakif  mensyaratkan 
sesuatu,  baik  satu  maupun  berbilang.  Wakif 
dibolehkan  menentukan  syarat-syarat  penggunaan 
harta  wakaf,  syarat-syarat  tersebut  harus 
dihormati  selama  sejalan  dengan  ajaran 
agama  Islam.  Misalnya,  seseorang  mewakafkan 
tanah  untuk  mendirikan  pesantren  khusus 
laki-laki,  syarat  seperti  itu  harus 
dihormati  karena  sejalan  dengan  ketentuan-ketentuan 
syara’.
Apabila  syarat-syarat  penggunaan  harta  wakaf 
bertentangan  dengan  ajaran  Islam,  wakafnya 
dipandang  sah,  tetapi  syaratnya  dipandang 
batal.  Misalnya,  seseorang  yang  mewakafkan 
tanah  untuk  masjid  jami’,  dengan  syarat 
hanya  dipergunakan  oleh  para  anggota 
perkumpulan  tertentu,  maka  wakafnya  dipandang 
sah,  tetapi  syaratnya  tidak  perlu  diperhatikan.
F.     MENUKAR  DAN 
MENJUAL  HARTA  WAKAF
Berdasarkan  hadits  yang  diriwayatkan  oleh 
Imam  Bukhari  dan  Muslim  dari  Ibnu 
Umar  ra  yang  menceritakan  tentang 
wakaf   bahwa  wakaf  tidak  boleh  dijual,
diwariskan  dan  dihibahkan.  
Perbuatan  wakaf  dinilai  ibadah  yang 
senantiasa  mengalir  pahalanya  apabila  harta 
wakaf  itu  dapat  memenuhi  fungsinya  yang
 dituju.  Dalam  hal  harta  wakaf 
berkurang,  rusak,  atau  tidak  dapat  memenuhi 
fungsinya  yang  dituju,  harus  dicarikan  jalan 
keluar  agar  harta  itu  tidak  berkurang, 
utuh  dan  berfungsi.  Bahkan  untuk  menjual 
atau  menukar  pun  tidak  dilarang,  kemudian 
ditukarkan  dengan  benda  lain  yang  dapat 
memenuhi  tujuan  wakaf.
Ibnu  Qudamah  berpendapat  bahwa  apabila 
harta  wakaf  mengalami  rusak  hingga  tidak 
dapat  membawa  manfaat  sesuai  dengan 
tujuannya,  hendaknya  dijual  saja,  kemudian 
harga  penjualannya  dibelikan  benda-benda  lain 
yang  akan  mendatangkan  manfaat  sesuai 
dengan  tujuan  wakaf  dan  benda-benda  yang 
dibeli  itu  berkedudukan  sebagai  harta  wakaf 
seperti  semula.
G.    PENGAWASAN  HARTA  WAKAF
Pada  dasarnya  pengawasan  harta  wakaf 
merupakan  hak  wakif,  tetapi  wakif  boleh 
menyerahkan  pengawasan  kepada  yang  lain, 
baik  lembaga  maupun  perorangan.  Untuk 
menjamin  kelancaran  masalah  perwakafan, 
pemerintah  berhak  campur  tangan  dengan 
mengeluarkan  peraturan-peraturan  yang  mengatur 
permasalahan  wakaf  termasuk  pengawasannya.
Untuk  pengawas 
wakaf  yang  sifatnya  perorangan  diperlukan 
syarat  sbb:
- Berakal sehat
 - Baligh
 - Dapat dipercaya
 - Mampu melaksanakan urusan-urusan wakaf
 
Bila  syarat-syarat 
tersebut  tidak  terpenuhi,  hakim  berhak 
menunjuk  orang  lain 
yang  mempunyai  hubungan  kerabat  dengan 
wakif.  Bila  kerabat  juga 
tidak  ada,  maka  ditunjuk  orang  lain. 
Agar  pengawasan  dapat  berjalan dengan  baik, 
pengawas  wakaf  yang  bersifat  perorangan 
boleh  diberi  imbalan secukupnya  sebagai  gajinya 
atau  boleh  diambil  dari  hasil  harta  wakaf.
     
Pengawas  harta  wakaf  berwenang  melakukan 
perkara-perkara  yang  dapat 
     
mendatangkan  kebaikan  harta  wakaf  dan 
mewujudkan  keuntungan
     
-keuntungan  bagi  tujuan  wakaf,  dengan 
memperhatikan  syarat-syarat  yang 
     
ditentukan  wakif.
Jaminan  perwakafan 
di  Indonesia  dinyatakan  dalam  Undang-Undang 
Pokok  Agraria  No.  5  tahun  1960  Pasal 
49  ayat  3  yang  menyatakan  bahwa  perwakafan 
tanah  milik  dilindungi  dan  diatur  dengan 
peraturan  Pemerintah.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
ZAKAT
Zakat terbagi atas dua tipe yakni:
Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan
Ramadan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di
daerah bersangkutan.
Zakat Maal (Harta)
Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil
ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing tipe memiliki
perhitungannya sendiri-sendiri.
INFAQ
Panduan Menginfakkan Harta
Syariah telah
memberikan panduan kepada kita dalam berinfak atau membelanjakan harta. Allah
dalam banyak ayat dan Rasul saw. dalam banyak hadis telah memerintahkan kita
agar menginfakkan (membelanjakan) harta yang kita miliki. Allah juga
memerintahkan agar seseorang membelanjakan harta untuk dirinya sendiri (QS
at-Taghabun: 16) serta untuk menafkahi istri dan keluarga menurut kemampuannya
(QS ath-Thalaq: 7). Dalam membelanjakan harta itu hendaklah yang dibelanjakan
adalah harta yang baik, bukan yang buruk, khususnya dalam menunaikan zakat (QS
al-Baqarah [2]: 267).
SHODAQOH
Sedekah asal kata bahasa Arab
shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada
orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah
tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai
kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam
pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu'
(sedekah secara spontan dan sukarela).
WAQAF
Wakaf
(Arab: وقف, jamak: اوقاف, awqāf)
adalah perbuatan yang dilakukan wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk
menyerahkan sebagian atau untuk keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk
kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya.
SARAN
              Berdasarkan kesimpulan diatas,
maka penyusun mengharapkan bagi semua pihak membaca untuk menjalani hidup ini
dengan kasih sayang, saling berbagi kepada sesama, janganlah selalu keuntungan
duniawi yang dikejar tanpa memperhatikan syariat Islam. Selain itu
meskipun  sebagai makhluk ekonomi, kita
juga harus mampumenjadi makhluk yang religius yang menuju  sebagai insan kamil yang rindu dengan Ridho
Allah SWT dan Syafaat dari Rasulullah SAW. Kita hidup didunia ini aníllala sementara ibarat mampir
minum dikedai saja tak lebih dari itu. Untuk itu manfaatkan hidup ini dengan
sebaik-baiknya, saling tolong menolong kepada sesama, saling meberikan kasih
sayang dan selalu beribadah serta mengagungkan selalu Asma Allah.

kurang lengkap ??
BalasHapus